FOTO: Hendy Erwindi |
Hendy Erwindi
Andi Apriansyah
(31) berdiri setelah meletakan gelas kopi yang barusan diteguknya di sebuah
warung di Desa Sebubus, Paloh, Sambas, Sabtu (27/5) siang. Tangan kanannya
merogoh saku belakang celana lantas menumpukan segenggam puntung rokok di atas
meja. Tangannya kembali merogoh saku lain, lagi beberapa puntung rokok
diraihnya, kemudian disatukan ke tumpukan sebelumnya. Setelah yakin tidak ada
lagi sesuatu di saku celananya Andi duduk melanjutkan menyeruput kopi. “Tidak
boleh buang sampah di pantai walau hanya puntung rokok. Makanya saya kantongi
puntung sisa saya merokok semalam,” ujarnya sambil bersandar di bangku warung.
Malam sebelumnya
Andi ke Pantai Paloh untuk mengawasi penyu bertelur. Tidak ingin mengotori
pantai, setiap sampah anorganik yang ditemuinya selalu dibawa pulang. Andi
merupakan Anggota Kambau Borneo, kelompok masyarakat penjaga telur penyu dari
penjarahan di Pantai Paloh. Padahal setahun lalu sebelum menjadi Anggota Kambau
Borneo, Andi adalah penjarah penyu dan sering mengotori pantai. “Kalau pantai
kotor penyu tidak mau bertelur,” ucapnya.
Sepintas Pantai
Paloh terlihat bersih. Pada hamparan pasir sepanjang 63 kilometer jarang
ditemui sampah anorganik. Namun kondisi ini hanya di bibir pantai, sedikit ke
darat situasinya berbeda. Di batas pantai dengan vegetasi sampah anorganik
mudah ditemui. Anehnya jarang sekali ditemui sampah dari Indonesia, sebagian
besar berasal dari luar negeri. Merek dan bahasa pada sampah tersebut
menunjukan bukan dari Indonesia. Negara asal sampah itu dapat dilihat pada
lokasi produksi yang selalu ada pada setiap produk.
Dari pengamatan Pontianak Post, sampah di Pantai Paloh didominasi dari Malaysia, Vietnam,
Thailand,
Brunei Darussalam dan Filipina. Sebagian besar botol minuman dan sedikit
kantong plastik. “Memang jarang kami temui sampah dari Indonesia,
hampir semua dari luar negeri,” kata Andi. Warga Dusun Setinggak, Sebubus
Hermanto mengatakan, sebenarnya tidak hanya botol yang mengotori kawasan Pantai
Paloh.
Bekas bungkus mie instan juga sering ditemui, tetapi bukan di pantai melainkan dasar laut. Saking banyaknya sampah dari luar negeri di laut sekitar Pantai Paloh, nelayan tahu di mana lokasi jika ingin menjaring sampah. “Ada nelayan yang bilang kalau mau menangkap ikan ada tempatnya, jika ingin menjaring sampah mie instan pun ada lokasinya. Karena memang nelayan sering tidak dapat ikan ketika menjaring tetapi yang sangkut hanya sampah. Sampah itu dari luar negeri semua,” paparnya.
Pantai Paloh yang berada di Perairan Natuna dan berbatasan dengan Laut Cina Selatan merupakan pintu keluar masuk pelayaran internasional. Hermanto memperkirakan sampah tersebut berasal dari kapal-kapal nelayan asing yang sering melintas di Perairan Natuna dan Laut Cina Selatan. “Tapi bisa juga sampah ini dari negaranya masing-masing, sampai di Paloh karena dibawa arus,” katanya.
Jepri warga Dusun Ciremai, Paloh memperkirakan sebagian sampah ekspor itu tidak dari kapal asing. Walau ada tapi jumlahnya sedikit. Prediksinya sampah-sampah itu memang datang ke Paloh karena dibawa arus. Jepri beralasan puncak ekspor sampah tersebut terjadi pada Oktober hingga Desember. “Pada bulan-bulan itu air pasang besar, mungkin membawa sampah dari negaranya masing-masing ke Paloh. Makanya di batas vegetasi dengan pantai banyak sampah karena pasangnya memang besar ketika itu,” ungkapnya.
Kambau Borneo yang beranggotakan 26 orang berancana membeli mesin pencacah sampah. Sampah yang didominasi botol plastik dapat diolah dengan mesin itu kemudian dijual. “Sambil menjaga penyu bertelur kami dapat mengumpulkan sampah plastik untuk diolah. Dengan begitu pantai bersih, kami dapat penghasilan. Tapi ini masih rencana,” paparnya.
Koordinator Site Paloh Word Wildlife Fund (WWF) Indonesia, Dwi Suprapti menjelaskan, penyu betina mulai bertelur antara usia 25-30 tahun. Dalam satu masa reproduksi seekor penyu dapat naik ke pantai dan bertelur hingga delapan kali. Biasanya dalam waktu dua minggu. Namun sering penyu tidak jadi bertelur ketika naik ke pantai ada cahaya buatan seperti api, senter dan lampu kendaraan. Tidak hanya itu, penyu kerap membatalkan niatnya bertelur ketika pantai yang didaratkannya kotor. “Penyu sangat cerewet memilih tempat bertelur.
Selain cahaya, pergerakan manusia dan sampah, penyu juga memilih pasir tempatnya meletakan telur. Kelembaban pasir menjadi pertimbangannya,” jelasnya.Dikatakannya, setiap tahun ada kecendrungan penyu yang naik ke Pantai Paloh berkurang. Beberapa hal memengaruhinya, selain jumlah satwa tersebut terus berkurang bisa juga karena sampah.
“Sampah juga berpengaruh dengan jumlah penyu yang naik ke pantai,” tuturnya. Penyu hijau (chelonia mydas) dan penyu sisik (eretmochelys imbricata) yang merupakan endemik Pantai Paloh termasuk sangat sensitif. Hanya penyu lekang (lepidochelys olivacea) akan bertelur walau ramai aktivitas manusia maupun cahaya. “Tapi penyu lekang sudah jarang ke Pantai Paloh, jenis ini lebih sering bertelur di Bali,” paparnya.(*)
Bekas bungkus mie instan juga sering ditemui, tetapi bukan di pantai melainkan dasar laut. Saking banyaknya sampah dari luar negeri di laut sekitar Pantai Paloh, nelayan tahu di mana lokasi jika ingin menjaring sampah. “Ada nelayan yang bilang kalau mau menangkap ikan ada tempatnya, jika ingin menjaring sampah mie instan pun ada lokasinya. Karena memang nelayan sering tidak dapat ikan ketika menjaring tetapi yang sangkut hanya sampah. Sampah itu dari luar negeri semua,” paparnya.
Pantai Paloh yang berada di Perairan Natuna dan berbatasan dengan Laut Cina Selatan merupakan pintu keluar masuk pelayaran internasional. Hermanto memperkirakan sampah tersebut berasal dari kapal-kapal nelayan asing yang sering melintas di Perairan Natuna dan Laut Cina Selatan. “Tapi bisa juga sampah ini dari negaranya masing-masing, sampai di Paloh karena dibawa arus,” katanya.
Jepri warga Dusun Ciremai, Paloh memperkirakan sebagian sampah ekspor itu tidak dari kapal asing. Walau ada tapi jumlahnya sedikit. Prediksinya sampah-sampah itu memang datang ke Paloh karena dibawa arus. Jepri beralasan puncak ekspor sampah tersebut terjadi pada Oktober hingga Desember. “Pada bulan-bulan itu air pasang besar, mungkin membawa sampah dari negaranya masing-masing ke Paloh. Makanya di batas vegetasi dengan pantai banyak sampah karena pasangnya memang besar ketika itu,” ungkapnya.
Kambau Borneo yang beranggotakan 26 orang berancana membeli mesin pencacah sampah. Sampah yang didominasi botol plastik dapat diolah dengan mesin itu kemudian dijual. “Sambil menjaga penyu bertelur kami dapat mengumpulkan sampah plastik untuk diolah. Dengan begitu pantai bersih, kami dapat penghasilan. Tapi ini masih rencana,” paparnya.
Koordinator Site Paloh Word Wildlife Fund (WWF) Indonesia, Dwi Suprapti menjelaskan, penyu betina mulai bertelur antara usia 25-30 tahun. Dalam satu masa reproduksi seekor penyu dapat naik ke pantai dan bertelur hingga delapan kali. Biasanya dalam waktu dua minggu. Namun sering penyu tidak jadi bertelur ketika naik ke pantai ada cahaya buatan seperti api, senter dan lampu kendaraan. Tidak hanya itu, penyu kerap membatalkan niatnya bertelur ketika pantai yang didaratkannya kotor. “Penyu sangat cerewet memilih tempat bertelur.
Selain cahaya, pergerakan manusia dan sampah, penyu juga memilih pasir tempatnya meletakan telur. Kelembaban pasir menjadi pertimbangannya,” jelasnya.Dikatakannya, setiap tahun ada kecendrungan penyu yang naik ke Pantai Paloh berkurang. Beberapa hal memengaruhinya, selain jumlah satwa tersebut terus berkurang bisa juga karena sampah.
“Sampah juga berpengaruh dengan jumlah penyu yang naik ke pantai,” tuturnya. Penyu hijau (chelonia mydas) dan penyu sisik (eretmochelys imbricata) yang merupakan endemik Pantai Paloh termasuk sangat sensitif. Hanya penyu lekang (lepidochelys olivacea) akan bertelur walau ramai aktivitas manusia maupun cahaya. “Tapi penyu lekang sudah jarang ke Pantai Paloh, jenis ini lebih sering bertelur di Bali,” paparnya.(*)