Suatu bangsa akan besar jika lekat dengan budaya literasi. Perubahan suatu bangsa pun dapat terjadi dengan literasi. Ketajaman pedang dapat dikalahkan tinta pena. Budayakanlah menulis sejak buaian hingga liang lahat. Karena menulis yang baik diawali dengan membaca yang baik pula.
 

Peduli Mandor

Sejarah Mandor dalam relief. FOTO: Hendy Erwindi
Hari Berkabung Daerah
* Sutradara Naga Bonar Ingin Buat Film Mandor

Kalbar memperingati Hari Berkabung Daerah (HBD) hari ini (28/6). Tanggal itu ditetapkan untuk mengenang korban pembantaian Jepang di Kalbar. Tidak hanya di Mandor tapi tersebar di seluruh daerah di provinsi ini. Ada yang ingin mendokumentasikan peristiwa tersebut. Mengisahkannya melalui film. Adalah MT Risyaf, sutradara besar di Indonesia. Dia menyutradarai Naga Bonar pertama. Ternyata pria 64 tahun ini asal Kalbar.

Hendy Erwindi

          Masih ingat film fenomenal Naga Bonar yang dibintangi Dedy Mizwar ? Film yang dibuat tahun 1985 itu meraih banyak piala citra. Tapi banyak yang tidak tahu siapa sutradaranya. Adalah Mourtadha Risyaf yang menggubahnya. Lelaki kelahiran Pemangkat 7 Juni 1947. Pak Taba panggilannya, hingga sekarang dia masih bergelut di dunia perfilman dan sinetron. Sebagai sutradara dan pembuat skenerio.
          Apa kaitannya dengan tragedi Mandor ? Pak Taba sejak 20 tahun lalu sudah punya rencana membuatkan tragedi memilukan itu menjadi sebuah film. Namun tidak dapat terealisasi hingga sekarang karena terkendala pendanaan. ”Sekarang sudah tidak terlalu semangat lagi saya mewujudkannya. Karena kendala pendanaan,” ucapnya dihubungi Pontianak Post, kemarin.
           Berasal dari Kalbar tentu Pak Taba tahu tragedi Mandor. Menurutnya sejarah itu perlu diketahui rakyat Indonesia. Melalui film lebih efektif penyampaiannya. Sulit mewujudkannya karena Pak Taba tidak ingin membuat film ”kacangan”. Dia ingin serius menggarapnya. Membuat sebuh dokumenter drama. ”Bukan sekedar film yang bersifat komersial. Tapi mempersembahkan sesuatu untuk masyarakat Kalbar dan rakyat Indonesia. Ini sejarah yang perlu diketahui, tidak boleh dibuat asal,” ucapnya.
          Niat membuat film tersebut berawal dari buku berjudul Kapal Terbang Sembilan karya M Yanis pada 1983. Pak Taba mengaku tergugah setelah membaca buku tersebut. Dia tertarik menjadikannya sebuah film. ”Dari situlah saya bersemangat ingin membuat film. Ingin sampaikan bahwa orang Kalbar juga berkorban besar terhadap negeri ini,” katanya.
          Dulu, antara 10-20 tahun lalu Pak Taba merincikan pembuatan film ini menelan biaya Rp 4-5 miliar. Tapi sekarang biayanya bisa mencapai Rp 25 miliar. Hal itulah yang membuat film tersebut susah terwujud. Mengapa mahal ? Pak Taba menjelaskan, dia ingin membuat suasana yang tidak jauh beda dengan tahun 1942-1945. ”Misalnya Pelabuhan Seng Hie. Harus didesain sedemikian rupa, seperti kondisinya dulu. Itu banyak memakan biaya. Belum lagi peristiwa ini melibatkan banyak orang. Kita harus buat juga semua hal seperti tempo dulu. Membuatnya mahal dari film biasa,” paparnya. ”Sebelumnya perlu banyak riset. Itu juga memakan biaya yang tidak sedikit,” tambahnya.
          Pak Taba mengaku pembuatan film pendudukan Jepang di Kalbar biayanya jauh lebih besar dari Naga Bonar pertama. Naga Bonar hanya menelan biaya sekitar Rp 250 juta. ”Tapi kalau film Mandor saya rincikan dulu Rp 4-5 miliar,” katanya.
          Menurut lelaki lulusan SMA 1 Pontianak tahun 1966 itu tragedi Mandor akan menjadi film yang bagus jika jadi dibuat. Bukan film berdurasi 1 – 2 jam saja. Pak Taba memperkirakan durasinya sekitar tiga jam. Karena banyak rentatan peristiwa yang tidak boleh putus sepanjang ceritanya. ”Banyak bagian dalam periswtiwa itu. Misalnya penangkapan di Keraton Kadriyah, kemudian bagian pemberontakan Pangsuma di Meliau, Sanggau. Masih banyak bagian lain yang harus dibuat dan tidak boleh hilang sebagai bagian dari sejarah,” ungkapnya.
          Kalau kendala biaya mengapa tidak meminta dukungan Pemda ? Pak Taba mengatakan, tidak bisa mengandalkan pemerintah daerah untuk membuat film ini. ”Biayanya besar, saya yakin pemerintah daerah kita belum mampu. Dari dulu saya mencari di Jakarta tapi belum dapat. Kalau sudah dapat di sini baru minta bantu Pemda,” ucapnya.(*)
Read more