Suatu bangsa akan besar jika lekat dengan budaya literasi. Perubahan suatu bangsa pun dapat terjadi dengan literasi. Ketajaman pedang dapat dikalahkan tinta pena. Budayakanlah menulis sejak buaian hingga liang lahat. Karena menulis yang baik diawali dengan membaca yang baik pula.
 

Satu Jam Mengudara (Alam Borneo Tak lagi Hijau Kabar Kalbar dari Udara)


Kalimantan termasuk Kalbar digadang-gadang sebagai paru-paru dunia. Tentu pertimbangannya karena masih banyak pohon sebagai produsen oksigen. Tetapi selama perjalanan Pontianak-Sajingan, Sambas melalui udara, Hearth of Borneo tidak tergambarkan. Alamnya tak hijau lagi.

“PUKUL tujuh besok sudah di bandara,” bunyi suara di ujung telepon, Minggu (6/11) malam. “Saya Desius, Kapendam (Kepala Penerangan Kodam XII Tanjungpura,” tambahnya.Senin (7/11), sebelum pukul 07.00 saya sudah di Pangkalan Angkatan Udara Bandara Supadio Pontianak. Danrem 121/ABW Kolonel Inf Toto Rinanto, Ass Intel Kodam XII Tanjungpura Letkol Andi Muhammad, Waka Top Dam Letkol Rustandy ZA sudah datang sebelumnya. Sekitar pukul 07.30, Danrem dan rombongan mulai melangkah menuju helikopter. Sebelumnya, petinggi TNI AU Pontianak menyalaminya setelah memberi hormat. “Berapa orang yang terbang Ndan (komandan)?” Tanya seorang petinggi TNI AU di dekat helikopter. “Saya, As Intel, Waka Top dam, staf Pendam dan satu wartawan,” jawab Toto.

Di dalam helikopter sudah ada empat kru, dua di depan dan dua lagi di belakang. Setelah pilot, duduk di kursi tengah Toto, Andi dan Rustandy. Kami dan staf Pendam di kursi belakang diapit dua kru. “Sudah berapa kali naik heli,” tanya Toto berteriak melawan suara mesin helikopter yang sudah dinyalakan. “Ini pengalaman pertama,” jawabku dengan berteriak juga.

Setelah mengudara, helikopter mengarah ke timur lantas berbelok ke utara. Tujuannya memang ke utara Kalbar, yakni perbatasan Indonesia-Malaysia di Sajingan, Sambas. Sepanjang perjalanan Toto tidak memejamkan mata, sering dia memandang ke luar jendela. Begitu juga kru lainnya, pada lokasi tertentu dia mengeluarkan kamera dari saku lantas mengambil gambar.Aku pun berlaku sama, tali kamera selalu melilit lengan, kemudian aktif jeprat-jepret. Tidak jelas lokasi mana yang dilalui, hanya dapat mengira daerah atau kabupaten yang dilintasi. Hanya mengandalkan tanda-tanda alam. Tidak ada tempat bertanya.

Awalnya ingin mengandalkan kru yang duduk di samping untuk bertanya, tetapi saat helikopter mulai mengudara dia lebih banyak sibuk berkomunikasi dengan pilot. Sesekali saja memotret pemandangan.Belum lima belas menit mengudara, pemandangan mulai menarik. Hutan dengan vegetasi rapat jarang terlihat. Jika ada sifatnya seporadis, tidak dalam satu kawasan utuh. Jepretan pertamaku adalah suatu sungai yang lebar, ada beberapa bangunan. Bangunan itu terapung di sungai, seperti rumah penduduk di Danau Sentarum. Tetapi yang ini tidak luas.

Selanjutnya lebih banyak jepretan menembus kaca jendela. Satu sungai mengular melintasi beberapa perkampungan. Jelas dari atas airnya keruh, berwarna kuning kecokelatan. Terus ke utara, hutan kian menipis. Aktivitas perkebunan sawit mendominasi sebagian wilayah yang dilintasi. Ada yang seperti obat nyamuk. Ujung jalur penanaman sawit itu di puncak bukit yang tidak hijau lagi. Pemandangan seperti itu menemani perjalanan hingga ke Sajingan. Hanya sedikit kawasan yang masih hijau, tetap juga tidak utuh. Hijaunya seporadis.

Dalam pada itu, di sebelah kiri depan terlihat satu gunung berdiri sendiri, tidak jauh darinya ada tiga puncak yang hampir sama tinggi. Aku yakin itu Gugung Pasi dan Poteng di Singkawang. “Kita di belakang Singkawang sekarang,” kata kru di sampingku tanpa ditanya. “Iya, saya pun mengira begitu,” sahutku dalam hati.Lima belas menit menjelang mendarat, hamparan sawit sangat luas menyita perhatian sebagian besar kru. Dua kru yang duduk di bangku belakang mengambil beberapa gambar, dengan kamera saku dan ponsel. Aku pun begitu. Baik di kiri dan kanan semuanya lahan sawit. Mungkin usia sawitnya antara tiga hingga lima tahun. Luasnya puluhan ribu hektar. Namun tidak semuanya tumbuh dengan baik, di beberapa blok kebun itu botak. Sawitnya tidak subur, karena memang tumbuhnya di lahan datar. Banyak lokasi digenangi air.

Setelah satu jam perjalanan, helikopter dihadang hamparang bukit yang luas. Pilot mengurangi ketinggian. Ass Intel Kodam XII Tanjungpura, menagakan badan, memisahkan punggungnya dari bangku. Dia menepuk bahu pilot dan bertanya dengan suara dan isyarat tubuh. “Apakah kita akan melompati gunung itu,” begitu kira-kira katanya, karena tangannya berisyarat demikian. “Tidak,” jawab pilot dengan melambaikan tangan. “Kita mendarat sebelum gunung,” tambahnya.Rombongan akhirnya tiba di Pos TNI Sajingan Besar. Anggota TNI dan TDM telah bersiap menyambut, mereka berbaris. Tidak begitu lama di pos, Danrem dan rombongan menuju Markas Dewan Malindo, Biawak. Baru setelah itu TNI dan TDM menempuh perjalanan satu jam ke lokasi. Tujuan perjalan itu adalah meninjau tempat aktivitas perusahaan Malaysia yang masuk wilayah Indonesia.(*)
Read more

Sampah Luar Negeri Kotori Pantai Paloh (Upaya dan Dilema Pelestarian Penyu)

FOTO: Hendy Erwindi
Penyu sangat selektif memilih lokasi bertelur. Selain cahaya dan pergerakan, hewan pengarung samudera ini tidak mau bertelur jika pantai yang didatanginya kotor. Di Pantai Paloh yang menjadi salah satu lokasi favorit penyu bertelur dikhawatirkan ditinggalkan satwa ini. Pantai ini mulai dikotori sampah anorganik, namun bukan berasal dari Indonesia melainkan datang dari  luar negeri.

Hendy Erwindi 
 
Andi Apriansyah (31) berdiri setelah meletakan gelas kopi yang barusan diteguknya di sebuah warung di Desa Sebubus, Paloh, Sambas, Sabtu (27/5) siang. Tangan kanannya merogoh saku belakang celana lantas menumpukan segenggam puntung rokok di atas meja. Tangannya kembali merogoh saku lain, lagi beberapa puntung rokok diraihnya, kemudian disatukan ke tumpukan sebelumnya. Setelah yakin tidak ada lagi sesuatu di saku celananya Andi duduk melanjutkan menyeruput kopi. “Tidak boleh buang sampah di pantai walau hanya puntung rokok. Makanya saya kantongi puntung sisa saya merokok semalam,” ujarnya sambil bersandar di bangku warung.

Malam sebelumnya Andi ke Pantai Paloh untuk mengawasi penyu bertelur. Tidak ingin mengotori pantai, setiap sampah anorganik yang ditemuinya selalu dibawa pulang. Andi merupakan Anggota Kambau Borneo, kelompok masyarakat penjaga telur penyu dari penjarahan di Pantai Paloh. Padahal setahun lalu sebelum menjadi Anggota Kambau Borneo, Andi adalah penjarah penyu dan sering mengotori pantai. “Kalau pantai kotor penyu tidak mau bertelur,” ucapnya.

Sepintas Pantai Paloh terlihat bersih. Pada hamparan pasir sepanjang 63 kilometer jarang ditemui sampah anorganik. Namun kondisi ini hanya di bibir pantai, sedikit ke darat situasinya berbeda. Di batas pantai dengan vegetasi sampah anorganik mudah ditemui. Anehnya jarang sekali ditemui sampah dari Indonesia, sebagian besar berasal dari luar negeri. Merek dan bahasa pada sampah tersebut menunjukan bukan dari Indonesia. Negara asal sampah itu dapat dilihat pada lokasi produksi yang selalu ada pada setiap produk.

Dari pengamatan Pontianak Post, sampah di Pantai Paloh didominasi dari Malaysia, Vietnam, Thailand, Brunei Darussalam dan Filipina. Sebagian besar botol minuman dan sedikit kantong plastik. “Memang jarang kami temui sampah dari Indonesia, hampir semua dari luar negeri,” kata Andi. Warga Dusun Setinggak, Sebubus Hermanto mengatakan, sebenarnya tidak hanya botol yang mengotori kawasan Pantai Paloh.

Bekas bungkus mie instan juga sering ditemui, tetapi bukan di pantai melainkan dasar laut. Saking banyaknya sampah dari luar negeri di laut sekitar Pantai Paloh, nelayan tahu di mana lokasi jika ingin menjaring sampah. “Ada nelayan yang bilang kalau mau menangkap ikan ada tempatnya, jika ingin menjaring sampah mie instan pun ada lokasinya. Karena memang nelayan sering tidak dapat ikan ketika menjaring tetapi yang sangkut hanya sampah. Sampah itu dari luar negeri semua,” paparnya.

Pantai Paloh yang berada di Perairan Natuna dan berbatasan dengan Laut Cina Selatan merupakan pintu keluar masuk pelayaran internasional. Hermanto memperkirakan sampah tersebut berasal dari kapal-kapal nelayan asing yang sering melintas di Perairan Natuna dan Laut Cina Selatan. “Tapi bisa juga sampah ini dari negaranya masing-masing, sampai di Paloh karena dibawa arus,” katanya.

Jepri warga Dusun Ciremai, Paloh memperkirakan sebagian sampah ekspor itu tidak dari kapal asing. Walau ada tapi jumlahnya sedikit. Prediksinya sampah-sampah itu memang datang ke Paloh karena dibawa arus. Jepri beralasan puncak ekspor sampah tersebut terjadi pada Oktober hingga Desember. “Pada bulan-bulan itu air pasang besar, mungkin membawa sampah dari negaranya masing-masing ke Paloh. Makanya di batas vegetasi dengan pantai banyak sampah karena pasangnya memang besar ketika itu,” ungkapnya.

Kambau Borneo yang beranggotakan 26 orang berancana membeli mesin pencacah sampah. Sampah yang didominasi botol plastik dapat diolah dengan mesin itu kemudian dijual. “Sambil menjaga penyu bertelur kami dapat mengumpulkan sampah plastik untuk diolah. Dengan begitu pantai bersih, kami dapat penghasilan. Tapi ini masih rencana,” paparnya.

 Koordinator Site Paloh Word Wildlife Fund (WWF) Indonesia, Dwi Suprapti menjelaskan, penyu betina mulai bertelur antara usia 25-30 tahun. Dalam satu masa reproduksi seekor penyu dapat naik ke pantai dan bertelur hingga delapan kali. Biasanya dalam waktu dua minggu. Namun sering penyu tidak jadi bertelur ketika naik ke pantai ada cahaya buatan seperti api, senter dan lampu kendaraan. Tidak hanya itu, penyu kerap membatalkan niatnya bertelur ketika pantai yang didaratkannya kotor. “Penyu sangat cerewet memilih tempat bertelur.

Selain cahaya, pergerakan manusia dan sampah, penyu juga memilih pasir tempatnya meletakan telur. Kelembaban pasir menjadi pertimbangannya,” jelasnya.Dikatakannya, setiap tahun ada kecendrungan penyu yang naik ke Pantai Paloh berkurang. Beberapa hal memengaruhinya, selain jumlah satwa tersebut terus berkurang bisa juga karena sampah.

“Sampah juga berpengaruh dengan jumlah penyu yang naik ke pantai,” tuturnya. Penyu hijau (chelonia mydas) dan penyu sisik (eretmochelys imbricata) yang merupakan endemik Pantai Paloh termasuk sangat sensitif. Hanya penyu lekang (lepidochelys olivacea) akan bertelur walau ramai aktivitas manusia maupun cahaya. “Tapi penyu lekang sudah jarang ke Pantai Paloh, jenis ini lebih sering bertelur di Bali,” paparnya.(*)
Read more

Kambau atau penyu hijau usai bertelur di Pantai Paloh, Sambas

Read more

Pernah Diusir, Kerap Terima Surat Kaleng (Upaya dan Dilema Pelestarian Penyu)

Penyu yang masih tetap dilindungi oleh masyarakat di Kecamatan Paloh
Kabupaten Sambas. FOTO: Hendi Erwindi
Upaya menahan ancaman kepunahan penyu di Pantai Paloh, Sambas tidak mudah. Siapa saja yang melakukan upaya pelestarian satwa itu akan berbenturan dengan penjarah. Kurang lagi ancaman dan intimidasi, surat kaleng pun sering diterima.

HENDY ERWINDI

HANYA suara ombak yang jelas terdengar di Tanjung Api, Pantai Paloh Sabtu (26/5) tengah malam. Dari kejauhan suara ranting yang patah diikuti hamburan pasir terdengar pelan. Ketika didekati baru suara itu kian jelas di telinga. Dari arah suara hingga batas ombak di pantai ada jejak seperti rel kereta api, lebarnya sekitar setengah meter.
“Itu jejak penyu. Dari suaranya dia (penyu) tengah membersihkan lokasi bertelur. Masih dua jam lagi baru mulai bertelur,” kata Koordinator Site Paloh WW Indonesia, Dwi Suprapti.  

Perkiraan Dwi tidak jauh meleset, setelah dua jam suara hamburan pasir yang bertemu dengan dedaunan kering itu tidak terdengar lagi. Kembali suara ombak yang terdengar di pantai tersebut. Setelah didekati, benar saja seekor penyu hijau (chelonia mydas) yang panjangnya 100 centimeter dengan lebar 94 centimeter tengah mengeluarkan telurnya.

Satu persatu telur sebesar bola ping pong jatuh ke lobang yang telah digali penyu itu. “Usianya ini dipastikan lebih dari 30 tahun,” jelas Dwi. “Setelah bertelur ada jeda sekitar satu jam lagi baru dia kembali ke laut. Setiap selesai bertelur penyu akan berputar-putar membuat jejak dan lubang kamuflase. Tujuannya untuk mengelabui predator dan mungkin juga penjarah,” tambahnya.

Tiga tahun melakukan pemetaan, penelitian dan kampanye tentang pelestarian penyu di Paloh membuat Dwi kenal dengan tingkah laku satwa itu. Namun pengalamannya tidak hanya dengan penyu tetapi juga lingkungan sekitar termasuk penjarah.  Dua bulan lalu misalnya, Dwi didatangi enam orang yang memintanya meninggalkan Paloh. Jika tidak mau meninggalkan Paloh mereka akan memaksa dokter hewan lulusan Universitas Udayana itu pergi. “Mereka datang ke kantor dengan nada bicara tinggi,” ucap Dwi bercerita.

Selain ancaman langsung, Dwi juga pernah menerima surat kaleng, bahkan empat kali. Anehnya surat tanpa nama dan alamat pengirim itu tidak dikirim ke tempatnya bertugas di Paloh.
Tetapi di kediaman orang tuanya di Singkawang dan di rumahnya di Pontianak.

Terakhir sekitar tiga bulan lalu surat kaleng itu disampaikan petugas pos di rumah orang tuanya di Singkawang. Memang tidak ada kata-kata ancaman dalam surat itu, tetapi Dwi mengaku cukup terusik. “Seorang perempuan, dokter hewan mengapa berani ke Paloh hanya untuk melestarikan penyu. Kira-kira seperti itu bunyi surat yang terakhir,” katanya menirukan isi surat tersebut.

Surat kaleng tersebut cukup membuat Dwi berpikir. Yang dipikirkannya, pengirim tahu dua alamatnya di tempat berbeda, di Singkawang dan Pontianak. Mengapa tidak dikirim saja alamat kantornya di Paloh ? “Walau terusik tapi saya tidak ingin menguras pikiran hanya untuk surat kaleng itu,” tuturnya. Dwi menegaskan keberadaannya di Paloh hanya untuk penelitian, pemetaan dan konservasi penyu. Namun penjarah dan sebagian warga menganggap dia dan WWF melarang mengambil telur penyu.

Masyarakat tidak tahu yang sesungguhnya melarang perdagangan telur penyu adalah pemerintah dengan peraturan perundang-undangan. “Kami tidak memiliki kewenangan menangkap apalagi menindak pelaku pencurian telur penyu.
Itu wewenang aparat keamanan dengan dasar Undang-undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan,” jelasnya.

Kapolsek Paloh AKP Laelan Sukur mengatakan, belum pernah ada laporan tentang pencurian telur penyu di wilayah kerjanya. Setiap pelanggaran seperti pencurian telur penyu, kata dia, harus ada pembuktian untuk penindakan lebih lanjut. “Kalau pencuri tertangkap tangan oleh masyarakat harus dibuktikan dulu baru bisa ditindak,” ujarnya.

Menurut Laelan, saat ini semakin banyak masyarakat yang tahu tentang larangan pencurian dan perdagangan telur penyu. Apalagi sudah ada kelompok masyarakat yang mengawasi serta turut melestarikan satwa itu. “Masyarakat sudah bagus, WWF juga sudah menyosialisasikan aturan dan keberadaannya di Paloh,” ungkapnya.

Kepala Dinas Pemuda Olahraga Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Sambas Sukari mengatakan, pelestarian telur penyu sebetulnya dapat disinergiskan dengan pariwisata. Sektor itu akan menjadi penghasilan alternatif jika alasan sebagian warga mencuri telur penyu selama ini karena ekonomi. Pantai Paloh yang indah serta menjadi lokasi penyu bertelur menjadi daya tarik wisata. “Di Paloh kami sudah membentuk kelompok sadar wisata. Jika ini berkembang harapannya warga tidak lagi menyandarkan diri pada telur penyu,” harapnya.  Namun Sukari menganggap telur penyu sebagai sumber daya alam terbarukan. Menurutnya bukan tidak boleh sama sekali masyarakat memanfaatkan telur penyu. “Bukan tidak boleh sama sekali, masih ada yang bisa dimanfaatkan.
Bagaimana kalau kita kompromistis,” ucapnya. (*)
Read more

Dulu Penjarah Telur, Sekarang Jaga Penyu Bertelur (Upaya dan Dilema Pelestarian Penyu)



Pelestarian penyu akan sia-sia jika masyarakat sekitar tempatnya bertelur tidak mendukung. Aturan dengan ancaman sanksi tidak juga mampu menangkal ancaman kepunahan satwa ini. Di Paloh, Sambas penjarahan telur penyu mulai berkurang karena sekelompok masyarakat yang dulunya menjarah kini bersikap terbalik,  justru menjaganya.

Hendy Erwindi - PALOH, SAMBAS


Tengah malam, tiga bulan lalu Darmawan dan dua rekannya menelusuri Pantai Tanjung Kemuning, Paloh. Ketiganya melihat sekumpulan orang yang dicurigai akan menjarah telur penyu. Dugaan itu nyata ketika Darmawan dan rekannya menghampiri sekumpulan orang itu. “Mereka ternyata mencuri telur penyu,” kenangnya Darmawan, Sabtu (26/5) di Paloh.

Darmawan mencoba memberi pengertian kepada para penjarah bahwa apa yang mereka lakukan menyalahi peraturan perundang-undangan. Bukan mahfum, penjarah berkeras, tetap ingin mengambil telur penyu tersebut. “Untuk menghindari benturan kami tinggalkan saja mereka, yang penting kami sudah mengingatkan,” katanya.

Darmawan dan 25 warga Desa Sebubus, Paloh, Sambas adalah Anggota Kambau Borneo. Sekelompok orang yang bertekad menjaga kelestarian penyu di desanya. Setahun lalu Kambau Borneo terbentuk dan lantas diberi embel-embel kelompok masyarakat pengawas (Pokmaswas) di depannya agar mendapat legalitas. Sebagian besar anggota Pokmaswas Kambau Borneo dulunya juga penjarah telur penyu. Setiap malam di sepanjang Pantai Paloh sekitar 63 kilometer mereka berburu telur satwa yang dilindungi itu. Telur yang mereka jarah kemudian dijual ke Sambas, Pontianak bahkan Malaysia melalui Jagoi Babang, Bengkayang.
Dulu menjarah sekarang menjaga telur penyu tidak lantas membuat Kambau Borneo mendapat apresiasi. Malah sebaliknya banyak yang mencomooh kehadiran kelompok ini. Sering juga mereka mendapat intimidasi, baik langsung maupun melalui pesan singkat. “Ada juga yang bilang mau membubarkan Kambau Borneo,” ungkap Darmawan.

Ismail (47) yang juga Anggota Kambau Borneo mengaku setahun lalu dirinya masih mencuri telur penyu. Selain dimakan telur itu dijualnya dengan pengepul yang datang ke Sebubus dengan harga Rp2.000 per butir. “Sejak gabung dengan Kambau Borneo saya tidak pernah ambil lagi (telur penyu). Sudah sadar,” tuturnya. Selain menyadari penjarahan dilarang aturan dan berdampak negatif untuk lingkungan, Ismail juga merasa diawasi masyarakat karena kapasitasnya sebagai anggota kelompok pengawas.

“Walau penjaga kami juga diawasi warga. Karena ada kecurigaan kami juga mencuri telur penyu sambil menjaganya,” ucapnya. Sehari-hari Ismail bekerja sebagai nelayan. Disela-sela melaut dulu dia menjarah telur penyu sebagai tambahan penghasilan. Setelah ditulari beberapa rekannya tentang pentingnya kehadiran penyu untuk keberlangsungan satwa dan penyeimbang lingkungan, Ismail meninggalkan penjarahan telur penyu.

“Kalau dulu kami tidak tahu tentang aturan dan fungsi penyu itu sendiri terhadap lingkungan. Sudah tahu begini kami akan menjaganya,” kata warga Dusun Jeruju, Sebubus itu. Sama halnya dengan Andi warga Dusun Setinggak, Sebubus, Paloh. Dua tahun lalu Andi masih sering ke Pantai Paloh pada malam hari untuk mencuri telur penyu, terutama ketika musim bertelur antara Juni hingga Oktober. Sekarang, setelah menjadi Anggota Kambau Borneo Andi justru melarang orang mencuri telur penyu dan terus berkampanye tentang pentingnya satwa pengarung samudera itu.

Alasan Andi menjaga pantai dan telur penyu tidak sekedar bernuansa konservasi. Dia risau dengan penilaian warga yang menganggap dirinya masih mencuri telur penyu. “Sekalian saja jadi Anggota Kambau Borneo dan menjaga telur penyu, karena saya tidak melakukannya juga orang menganggap saya masih mencuri. Kalau saya tidak boleh mengambil telur penyu orang lain juga jangan melakukannya,” tegasnya.

Terdapat dua penyu endemik Pantai Paloh, penyu hijau (chelonia mydas) dan penyu sisik (eretmochelys imbricata). Selain itu ada juga jenis penyu yang ditemui di Pantai Paloh namun jarang, sepeti penyu lekang (lepidochelys olivacea) dan penyu belimbing (dermochelys coriacea). “Endemik maksudnya dua jenis penyu yang kerap naik ke Pantai Paloh tempat untuk bertelur,” kata Koordinator Site Paloh WWF Indonesia, Dwi Suprapti. 

Tiga tahun lalu pencurian telur penyu di Paloh sangat tinggi. Dwi mengatakan, dari semua penyu yang bertelur hampir seratus persen telurnya dijarah. Hanya sebagian kecil menetas, itu pun berasal dari sarang yang tidak terdeteksi oleh penjarah. Sejak ada Kambau Borneo perubahan terjadi. Sepanjang 2011 misalnya, sebanyak 93 persen dari 9.000 sarang berhasil menetas di tempatnya bertelur bukan di penangkaran. “Kami menghitungnya dari cangkang telur di lobang peneluran. Yang mampu dihitung hanya 14 ribu cangkang,” ucap dokter hewan itu.

Keberadaan Kambau Borneo dinilainya sangat berpengaruh terhadap keamanan telur penyu. Namun jumlah 93 persen itu belum sesuai harapan, menurutnya, telur penyu masih dapat diselamatkan hingga 95 persen pada tahun ini.
“Yang sisa tujuh persen hingga sekarang masih dijarah, bukan karena predator alam. Mudah-mudah tahun ini bisa sampai 95 persen telur yang menetas menjadi tukik (anakan penyu),” harapnya.

Perhitungan telur penyu oleh Kambau Borneo dan WWF itu hanya pada 19,3 kilometer dari 63 kilometer panjang Pantai Paloh. Memang di sepanjang pantai tersebut ada penyu bertelur, tetapi dari Sungai Mutusan hingga Sungai Belacan sepanjang 19,3 kilometer menjadi lokasi favorit penyu berkembangbiak. “Makanya konsentrasi kami antara Sungai Mutusan sampai Sungai Belacan, karena paling banyak penyu naik ke darat,” kata Ketua Kambau Borneo, Muraizi.

Bupati Sambas Juliarti Djuhardi Alwi mengakui ada dilema dalam pelestarian penyu. Di sisi lain perdagangan telur penyu dilarang undang-undang, sedangkan pada aspek lain masyarakat Paloh turun-temurun memanfaatkan nilai ekonominya. Telur penyu menjadi salah satu mata pencaharian penduduk setempat. “Memang perlindungan penyu dan telurnya belum berjalan seperti yang kami inginkan.

Masih ada pro-kontra di tengah masyarakat sehingga menimbulkan benturan. Tidak ingin itu terjadi tentunya kami (pemerintah) bertugas menyadarkan masyarakat. Sosialisasi akan lebih gencar kami lakukan,” ucapnya. “Sampai saat ini masih ada masyarakat yang belum sadar dan menjarah telur penyu. Biasa ada yang datang ke rumah saya membawa telur penyu sebagai oleh-oleh dari Paloh. Tapi saya tolak secara halus, tidak pernah diterima,” tambahnya.

Juliarti menilai kesadaran masyarakat terhadap konservasi penyu sudah maju dengan adanya Kambau Borneo. Dia berjanji akan mendukung keberadaan kelompok masyarakat itu. “Pemkab tentunya akan mendukung,” tegasnya. Kepala Bidang Pesisir, Pulau-Pulau Kecil dan Pengawasan Dinas Kelautan dan Perikanan Kalimantan Barat, Dionisius Endi mengatakan, keberadaan Kambau Borneo sejalan dengan Undang-undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan. “Dalam aturan itu masyarakat memang terlibat melakukan pengawasan sumber daya perikanan,” jelasnya.

Di Kalbar terdapat 82 Pokmaswas yang tersebar di 11 kabupaten kota, sisanya tiga kabupaten belum memilikinya. Endi mengingatkan Kambau Borneo agar tidak keluar dari jalurnya sebagai pengawas. Masyarakat hanya boleh mengawasi dan mengingatkan jika ada pelanggaran, sedangkan penindakan serta sanksi dilakukan oleh aparat keamanan. “Apa yang dilakukan sekarang sudah benar, Kambau Borneo hanya mengawasi dan mengingatkan penjarah telur penyu. Jangan sampai Kambau Borneo menghakimi penjarah telur, kalau itu terjadi justru mereka yang salah dan dapat dipidana,” ingatnya.(*)
Read more

Peduli Mandor

Sejarah Mandor dalam relief. FOTO: Hendy Erwindi
Hari Berkabung Daerah
* Sutradara Naga Bonar Ingin Buat Film Mandor

Kalbar memperingati Hari Berkabung Daerah (HBD) hari ini (28/6). Tanggal itu ditetapkan untuk mengenang korban pembantaian Jepang di Kalbar. Tidak hanya di Mandor tapi tersebar di seluruh daerah di provinsi ini. Ada yang ingin mendokumentasikan peristiwa tersebut. Mengisahkannya melalui film. Adalah MT Risyaf, sutradara besar di Indonesia. Dia menyutradarai Naga Bonar pertama. Ternyata pria 64 tahun ini asal Kalbar.

Hendy Erwindi

          Masih ingat film fenomenal Naga Bonar yang dibintangi Dedy Mizwar ? Film yang dibuat tahun 1985 itu meraih banyak piala citra. Tapi banyak yang tidak tahu siapa sutradaranya. Adalah Mourtadha Risyaf yang menggubahnya. Lelaki kelahiran Pemangkat 7 Juni 1947. Pak Taba panggilannya, hingga sekarang dia masih bergelut di dunia perfilman dan sinetron. Sebagai sutradara dan pembuat skenerio.
          Apa kaitannya dengan tragedi Mandor ? Pak Taba sejak 20 tahun lalu sudah punya rencana membuatkan tragedi memilukan itu menjadi sebuah film. Namun tidak dapat terealisasi hingga sekarang karena terkendala pendanaan. ”Sekarang sudah tidak terlalu semangat lagi saya mewujudkannya. Karena kendala pendanaan,” ucapnya dihubungi Pontianak Post, kemarin.
           Berasal dari Kalbar tentu Pak Taba tahu tragedi Mandor. Menurutnya sejarah itu perlu diketahui rakyat Indonesia. Melalui film lebih efektif penyampaiannya. Sulit mewujudkannya karena Pak Taba tidak ingin membuat film ”kacangan”. Dia ingin serius menggarapnya. Membuat sebuh dokumenter drama. ”Bukan sekedar film yang bersifat komersial. Tapi mempersembahkan sesuatu untuk masyarakat Kalbar dan rakyat Indonesia. Ini sejarah yang perlu diketahui, tidak boleh dibuat asal,” ucapnya.
          Niat membuat film tersebut berawal dari buku berjudul Kapal Terbang Sembilan karya M Yanis pada 1983. Pak Taba mengaku tergugah setelah membaca buku tersebut. Dia tertarik menjadikannya sebuah film. ”Dari situlah saya bersemangat ingin membuat film. Ingin sampaikan bahwa orang Kalbar juga berkorban besar terhadap negeri ini,” katanya.
          Dulu, antara 10-20 tahun lalu Pak Taba merincikan pembuatan film ini menelan biaya Rp 4-5 miliar. Tapi sekarang biayanya bisa mencapai Rp 25 miliar. Hal itulah yang membuat film tersebut susah terwujud. Mengapa mahal ? Pak Taba menjelaskan, dia ingin membuat suasana yang tidak jauh beda dengan tahun 1942-1945. ”Misalnya Pelabuhan Seng Hie. Harus didesain sedemikian rupa, seperti kondisinya dulu. Itu banyak memakan biaya. Belum lagi peristiwa ini melibatkan banyak orang. Kita harus buat juga semua hal seperti tempo dulu. Membuatnya mahal dari film biasa,” paparnya. ”Sebelumnya perlu banyak riset. Itu juga memakan biaya yang tidak sedikit,” tambahnya.
          Pak Taba mengaku pembuatan film pendudukan Jepang di Kalbar biayanya jauh lebih besar dari Naga Bonar pertama. Naga Bonar hanya menelan biaya sekitar Rp 250 juta. ”Tapi kalau film Mandor saya rincikan dulu Rp 4-5 miliar,” katanya.
          Menurut lelaki lulusan SMA 1 Pontianak tahun 1966 itu tragedi Mandor akan menjadi film yang bagus jika jadi dibuat. Bukan film berdurasi 1 – 2 jam saja. Pak Taba memperkirakan durasinya sekitar tiga jam. Karena banyak rentatan peristiwa yang tidak boleh putus sepanjang ceritanya. ”Banyak bagian dalam periswtiwa itu. Misalnya penangkapan di Keraton Kadriyah, kemudian bagian pemberontakan Pangsuma di Meliau, Sanggau. Masih banyak bagian lain yang harus dibuat dan tidak boleh hilang sebagai bagian dari sejarah,” ungkapnya.
          Kalau kendala biaya mengapa tidak meminta dukungan Pemda ? Pak Taba mengatakan, tidak bisa mengandalkan pemerintah daerah untuk membuat film ini. ”Biayanya besar, saya yakin pemerintah daerah kita belum mampu. Dari dulu saya mencari di Jakarta tapi belum dapat. Kalau sudah dapat di sini baru minta bantu Pemda,” ucapnya.(*)
Read more

Mengenang Korban Jepang


Hari Berkabung Daerah (1)
* Bentuk Pokja, Ingatkan Warga Kalbar

Pemerintah Provinsi Kalbar telah menetapkan 28 Juni sebagai Hari Berkabung Daerah (HBD). Tanggal tersebut untuk mengenang tragedi Mandor atau peristiwa  pembantaian Jepang terhadap puluhan ribu warga Kalbar. Namun sejak Perda tersebut diterbitkan pada 2007 banyak kalangan merasa pemerintah hanya setengah hati. Perda itu tidak efektif. Beberapa pihak bersepakat melakukan sesuatu untuk itu. Membentuk Kelomp0k Kerja (Pokja) Tragedi Mandor.

Hendy Erwindi – PONTIANAK

Nek Cu Sitam begitu perempuan tua itu disapa. Usianya sudah 85 tahun tapi ingatannya masih baik. Dia ingat betul bagaimana pesawat tempur Jepang menghiasi langit Pontianak, 19 Desember 1943. Awal petaka bagi warga Pontianak bahkan Kalbar. “Sampai sekarang masih terang di mata saya bagaimana kami melihat rombongan pesawat itu,” ujarnya kepada Pontianak Post, beberapa hari lalu.
                Pesawat sembilan, begitu dia menyebutnya. Memang pesawat tempur Jepang yang mewarnai langit Pontianak hari Jumat sekitar pukul 11.00 jumlahnya sembilan.
Suaranya bergetar saat menceritakan kisah duka itu. Sesekali Nek Cu menutup wajahnya, entah apa yang ada dipikirannya. Dia mengaku ketakutan setiap mengingat peristiwa pesawat sembilan.
Nek Cu adalah warga Kampung Bangke, sekarang Bangka Belitung Laut. Bersama ratusan warga lainnya Nek Cu berhamburan ketika mendengar suara dengungan mesin pesawat yang terbang rendah. Mengitari Pontianak beberapa kali lantas, suara keras terdengar. Tanah bergetar, warga panik. “Pohon bergoyang. Orang tua suruh kami tiarap semua. Bahkan ada yang sampai menggigit akar pohon untuk menahan ketakutan,” kenangnya.
Nek Cu mengatakan pesawat sembilan mengebom Pelabuhan Seng Hie dan beberapa tempat lainnya di pusat kota. Hal itu selaras yang disampaikan wartawan senior Pontianak Post Marius AP dalam tulisan terbitan Sabtu 19 Desember 2009.
Marius menuliskan, kehadiran rombongan pesawat tempur itu disambut gembira. Ada yang melambai-lambaikan tangan, bersorak-sorak tanda senang, saat menyaksikan sembilan pesawat terbang dengan formasi menarik. Warga mengira pesawat tersebut tidak akan mencelakai mereka. Karena kita sedang dijajah pemerintah kolonial. Saat itu yang terlibat perperangan adalah Belanda (bagian dari sekutu) melawan jepang dan sedang menginfasi  Asia. Tapi tak dinyana ternyata serombongan pesawat tempur Jepang itu membawa bom.
Marius memperkirakan bom pertama dijatuhkan di Kampung Bali sekarang Jalan Sisingamangaraja. Tepatnya di Hollandse Chinese School (HCS). Kemudian di Jalan Diponegoro, Agus Salim, Juanda dan Gertak Putih atau Gajahmada.
                Peristiwa itu ternyata berlanjut. Jepang menduduki Pontianak dan melakukan pembantaian. Pemprov Kalbar, saat Gubernur Kadarusno membangun Monumen Makam Juang Mandor. Sejak Juli 2007, Perda Nomor 5 Tahun 2007 diberlakukan. Namun tidak efektif, banyak yang tidak tahu tentang hari itu. Menggugah sebagian kalangan untuk menguaknya lagi. Bukan membuka luka lama, tapi tidak ingin sejarah itu dilupakan generasi muda kita. “Tinggal hitungan hari HBD tapi tidak ada gejolaknya. Sepi,” keluh Syarif Muhammad Herry dari TARA Communication yang juga mantan Anggota KPI Kalbar, kemarin.
                Herry dan beberapa tokoh Kalbar melakukan diskusi di ruang redaksi Pontianak Post, kemarin. Diskusi khusus dilakukan untuk menyikapi HBD yang seolah mulai dilupakan. Yang hadir dalam diskusi tersebut Ilham Sanusi dari ICMI Kalbar, Majelis Musyawarah Istana Kadariah Pontianak Syarif Selamat Joesoef Alkadrie, Sy Abdullah Ketua Nasdem Kalbar, Achmad Husainie Mantan Ketua Perwakilan Komnas HAM Kalbar, Sekretaris Nasdem Kalbar Michael Y, Gusti Hardiansyah dan Aswandi dari akademisi, Santiyoso Tio Ketua Kadin Kalbar serta Khairul Rahman redaktur pelaksanan Pontianak Post. Bahkan di antara mereka adalah anak dan cucu korban keganasan Jepang.
                 Bergantian peserta diskusi menyampaikan pandangannya terhadap tragedi Mandor dan HBD. Diskusi mengerucut dengan pembentukan Pokja Tragedi Mandor. Semuanya setuju dengan Aswandi sebagai ketua.
                Berbagai rekomendasi yang harus dilakukan Pokja itu. Agenda terdekat adalah mengajak warga Kalbar mengingat 28 Juni sebagai HBD. “Kita perlu mengampanyekan ini. Salah satunya membuat spanduk dan memasangnya di tempat umum,” kata Sy Selamat Joesoef Alkadrie.
                Ilham Sanusi menambahkan, selain spanduk perlu juga diminta kepada tokoh-tokoh agama untuk mengajak umatnya berdoa pada hari itu. “Di semua tempat ibadah kita laksanakan doa. Karena korban Jepang dari multietnis dan multikeyakinan,” sarannya.
                Aswandi mengatakan, di lembaga pendidikan pun penting melakukan upacara peringatan HBD setiap 28 Juni. Tidak ada alasan mendekati ujian sekolah atau semester. “Kalau siswa atau mahasiswa tidak diikutkan, dosen dan karyawannya saja. Yang penting kita lakukan upacara,” tegasnya.(bersambung)

Read more